November 08, 2015

November Rain.














Sore ini langit mendung, udara terasa dingin dari halaman depan rumahku
embun masih menempel di dedaunan sisa hujan yang baru saja berhenti
hujan pertama di bulan November akhirnya turun, mengangkat kisah pilu di akhir tahun.


Kukira aku tak suka bulan November. Karena pada bulan November Tuhan pernah mengambil seseorang dariku, seseorang yang amat kusayangi, dan seseorang itu kini benar-benar tak dapat lagi kulihat, karena ia mungkin sudah berada dalam pelukan-Nya. Itu berarti, November kali ini adalah bulan November kedua dimana aku harus merasakan dinginnya hujan tanpa kehadiranmu.
Satu tahun berlalu begitu cepat bagiku, rasanya baru kemarin aku menangis hebat saat hadir di pemakamanmu. Kala angin berhembus kencang, burung berkicauan, dan kalimat Lailahailallah terdengar sepanjang jalan yang terlewati, menjadi kombinasi yang amat mengerikan saat kulihat ragamu yang tak lagi berdaya terbalut kain putih. Aku tak pernah siap untuk kehilanganmu secepat itu, melihat ragamu dimasukan ke liang lahat seperti menyaksikan pemakamanku sendiri, karena kamu adalah sebagian diriku yang kukasihi.

Aku memang belum atau mungkin tidak akan pernah menjadi siapa-siapa saat kamu pergi. Bahkan saat kamu masih ada pun kita terlihat seperti teman sewajarnya; tak ada peluk menghangatkan, tak ada genggam tangan yang menguatkan, juga tak ada sesuatu yang istimewa selain perlakuan-perlakuan spontan yang kamu lakukan.

Tapi percayalah, meski tidak jadian, perasaanku padamu sudah terlanjur dalam. Barangkali waktu dapat ku tarik kembali, mungkin aku akan mengatakannya. Karena kamu tahu? perlahan aku pun bisa mati oleh pertanyaan yang ku simpan sendiri, apakah kamu juga mencintaiku? Maaf karena tak sempat mengutarakannya langsung, sebab hatiku terlanjur dikuasai gengsi yang membuatku bingung.

Senyummu masih terngiang, saat rinduku tak punya tempat untuk pulang...

Jika bisa diibaratkan, rinduku seperti kebakaran hebat yang melanda Riau beberapa waktu silam, meresahkan dan sulit ditangani. Sebab kini tak ada lagi kamu; yang menjadi tempatku pulang tuk melepas rindu. Kematian adalah satu kata yang lebih menyakitkan dibanding jarak. Karena ia bukan hanya memisahkan, tapi juga merenggut semuanya tanpa menyisakan sedikitpun untuk dimiliki, kecuali kenangan.

Langit mulai bergemuruh saat aku mencoba mengenangmu lebih jauh. Semesta dan ragamu kini telah menjadi satu, namun jiwamu akan tetap bersamaku.
Sapardi Djoko Darmono pun pernah berkata dalam sajaknya,  
"Tapi yang fana adalah waktu, bukan? Kita abadi"  
Ya, jiwa kita abadi. Aku, kamu, dan semua jiwa yang hidup.
Maka biarkan aku untuk tetap mendambamu dari sini, wahai teman hidupku.

Bukan maksud hati tak merelakanmu,
tapi,

aku cuma rindu...

2 comments:

  1. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
    Semoga rindumu terobati. :)
    ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah terimakasih, tapi itu cuma cerita fiksi kak^^

      Delete