December 27, 2015

Nyanyian Burung.

sumber: google















Matahari tepat berada di atas kepala saat seorang gadis membuka pintu sembari membawa setumpuk pakaian basah dalam keranjang. Seperti yang ditebak, ia hendak menjemur pakaian.

Gadis itu memulai pekerjaanya dengan mengambil satu demi satu pakaian, menyampirkannya pada tiang-tiang besi. Tak butuh waktu lama untuk membuat pakaian itu berjajar, membentuk sebuah barisan, bak tentara yang baru kembali dari medan perang; mereka kusut, lepek, juga basah.

Sesekali pakaian-pakaian itu bergoyang digoda angin, saling bersenggol satu sama lain; tak ayal hingga membuat beberapa pakaian yang lebih kecil (dibaca: pakaian dalam) berjatuhan.

Sementara di atasnya, beberapa burung memperhatikan gerak-gerik gadis itu, jumlah seluruhnya ada empat. Masing-masing dari mereka berada dalam sangkar yang berbeda. Sebenarnya, sangkar mereka cukup besar, cukup untuk dua burung, tapi mereka tidak diizinkan untuk berbagi. Sang pemilik; yang merupakan ayah dari gadis itu sebenarnya mempunyai maksud baik, ingin memberikan rumah yang nyaman untuk burung-burungnya, tapi sang pemilik justru tak tahu, bahwa sebenarnya burung-burung itu kesepian.

Sang gadis selesai dengan pekerjaannya. Ia duduk di kursi rotan yang berada di depan rumahnya, menengguk segelas air untuk melepas dahaga. Bukan menjemur yang membuatnya lelah, melainkan pikiran-pikiran dalam kepala yang justru menyita banyak tenaganya. Gadis itu menghabiskan minumnya dengan tiga kali teguk, air mengalir begitu saja ke dalam kerongkongannya, tak ada yang ia rasakan selain rasa hambar, juga sepi.

Mata gadis itu berkaca-kaca, ia memandang ke sembarang arah, tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya, tatapannya hanya terlihat.... kosong. 

Para burung yang sedari tadi memerhatikan sang gadis tahu bahwa gadis itu sedang bersedih, maka mereka pun saling berseru, mendendangkan lagu, mencoba menghibur sang gadis. Sayangnya, nyanyian para burung tak mendapat sambutan, sang gadis menghiraukannya begitu saja atau parahnya ia bahkan tak mendengarnya sama sekali.

Matahari terasa begitu terik hingga membuat gadis itu kegerahan. Ia beranjak dari duduknya, mengambil keranjang, sebelum akhirnya memutuskan masuk ke dalam rumah. 

Suara langkah kaki dan tetesan air dari pakaian basah yang menggantung bersinambung dengan lagu yang dinyanyikan para burung. Sang gadis yakin terik matahari yang teramat ini mampu membuat pakaian-pakaiannya kering dalam beberapa jam saja, sementara jauh dalam hatinya, ia turut berharap terik matahari mampu membuat rasa kecewanya menguap ke udara.

Tepat di ambang pintu, sang gadis menghentikan langkahnya, ia menoleh pada burung-burung yang terus bernyanyi, memandang mereka begantian
"Burung-burung yang malang, tidakkah kalian tau? Nasib kita sama"
"yaaa.... kau dan aku, kita sama-sama kesepian"
Gadis itu menghela napas sejenak, mencoba tersenyum--meski sebenarnya ia tak mampu--
"Tapi kalian jauh lebih beruntung, karena kalian tak pernah merasakan rasanya dikecewakan"
"Saat harapan yang sudah kau susun rapih, semuanya dihempaskan begitu saja"
"Celakanya, orang yang melakukan itu adalah orang yang sangat kau percaya"
"Ah entahlah, aku semakin gila berbicara pada kalian"
"Teruslah benyanyi..."
"...setidaknya untuk membuatku sadar,"
"bahwa sesakit apapun perasaan ini..."
"...nyatanya, jantungku masih terus berdetak"

Dan pintu menutup perlahan,
sementara burung-burung masih terus benyanyi.

No comments:

Post a Comment