March 17, 2016

Musim gugur.

Kali ini, biarkan aku berjalan sendiri di tempat yang terasa begitu asing, di antara daun yang berserakan, di antara ranting pohon yang patah, di antara angin yang merindukan kicau burung, musim gugur bulan Maret.


Ini bukan perihal disakiti dan menyakiti atau perihal mencintai dan patah hati, tapi perihal kenapa, kenapa harus terjadi.

Tak pernah benar-benar sadar kapan pernah memulai, sebab semuanya masih terasa normal saat angin tiba-tiba berhembus membawa namamu dalam lamunan, ada sebongkah rasa yang tak terdefinisi, sebuah rasa yang selama ini tak terjamah oleh logika, yang kusadari  dengan amat terlambat, bak secangkir kopi yang entah kapan dibuat namun tiba-tiba saja sudah menjadi dingin.

Daun yang jatuh tak pernah marah saat angin menjatuhkannya berkali-kali. Aku juga ingin seperti itu,  yang bisa menerima dengan ikhlas pada apapun yang terjadi. Tapi ini bukan tentang mengiklaskan atau tidak. Karena ini masih perihal kenapa, kenapa harus terjadi?

Hidup kadang selucu ini, mempertemukan yang sudah bertemu, memisahkan yang tak bersatu. Aneh ya? tapi begitulah nyatanya. Kita sibuk memanipulasi waktu, merangkai kebohongan demi kebohongan, mencoba hidup dalam garisnya masing-masing. Entah untuk memendam harapan, entah untuk menghindari kenyataan.

Sebab mengakhiri sesuatu yang tak pernah dimulai itu benar-benar sulit, karena kita tidak tahu apa yang harus diakhiri, apa yang harus benar-benar dibuat berhenti, mungkin waktu?

ssshhhhh.....
Angin mengejekku kembali, kini bukan lagi dengan namamu, tapi dengan kenyataan yang begitu pilu.

Maka sekali lagi, biarkan aku berjalan sendiri di tempat yang terasa begitu asing, di antara daun yang berserakan, di antara ranting pohon yang patah, di antara angin yang merindukan kicau burung. Meski entah sampai mana, meski entah sampai kapan. Mungkin sampai waktu mampu menyingkirikan ingatanku tentangmu.

Dan pada saat itu tiba, aku yakin musim telah berganti. Menumbuhkan yang patah, mengganti yang telah hilang.

No comments:

Post a Comment