February 09, 2018

Bukan yang utama

"Mungkin ini sudah waktunya",
suara itu muncul lagi, kali ini semakin keras, menggema memenuhi pikiran. Suara hatiku?

Ini bukan pertama kalinya aku berdebat dengan diri sendiri. Semenjak terakhir kali kami bertemu malam itu, hubungan kami berantakan. Hari ke hari, bulan demi bulan dilalui tanpa cerita. Selama berbulan-bulan itu pula aku hancur.


Waktu mendewasakan, katanya. Atau menumbuhkan sikap tidak peduli? Itu yang kucoba lakukan. Menganggap semuanya baik-baik saja padahal tidak. Setiap hari aku sibukan diri dengan berbagai kegiatan atau sekadar hangout bersama teman. Cukup ampuh untuk mengusir sedih meski sementara waktu. Tapi tak seorangpun tahu apa yang datang padaku setiap kali malam mulai senyap. Hatiku bergejolak, pikiranku mengembara, seolah pada malam-malam itu badai datang menyerang, bertubi-tubi.

Pernah badai itu datang tiba-tiba di satu malam yang hampir pagi saat aku sedang mengerjakan tugas kuliah. Semuanya terkendali sampai tiba-tiba perasaan itu muncul dan berhasil menguasai diri, selang sepersekian detik air mata jatuh dan aku menangis sejadi-jadinya. 

Diriku kapal yang kehilangan jangkar, terombang-ambing di lautan lepas

Hatiku benar, mungkin ini memang sudah waktunya. Sudah waktunya untuk mengambil alih kapalku sendiri, sudah waktunya menyudahi sedih yang tak berkesudahan, sudah waktunya bendera putih dikibarkan. Nyatanya, aku tak pernah menang melawan ambisinya. Demi sesuatu yang ia sebut untuk masa depan, aku selalu dikesampingkan. Padahal, di saat-saat ia jatuh, aku selalu menemani, memberinya semangat walau dari jauh. Sampai aku sadar yang ia lakukan hanyalah berjuang untuk masa depannya sendiri, bukan masa depan kami.

Aku menjadikannya prioritas, tapi ia jadikan aku yang kesekian

Yang aku tahu, untuk hal apapun selain aku, akan ia sempatkan. Seperti menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bermain game tolol selepas berkegiatan seharian misalnya, sementara tak satupun pesan dariku ia baca. Mungkin baginya pesanku hanyalah angin lalu yang bisa didiamkan menunggu. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Ternyata untuk merasa sakit hati dan tak dihargai tak perlu menunggu dicaci maki.

Sesuai janjiku, aku akan bertahan semampuku. Dan pada detik ini aku telah kehilangan pegangan untuk tetap berdiri dan mempertahankan kami. Aku pergi, ya. Semoga berhasil dengan ambisimu itu. Semoga di hidupmu yang nanti tanpa aku, kau tak merasakan bagaimana rasanya tak dihargai oleh orang yang begitu kau sayangi.

No comments:

Post a Comment