April 21, 2020

Bias

Kau mulai kehilangan dirimu sendiri pada tiap-tiap malam yang dingin di musim kemarau. Bertemankan sunyi dan kopi pahit kau mencoba berpasrah pada segala rasa sakit. Mengizinkan emosi dan logika berkecamuk dalam diri hingga kau bahkan tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. 

Sengal napas dan dada yang berulang kali kau cengkam itu menandakan kau semakin tua dan mungkin nyaris padam. Di usiamu yang kini menginjak dua puluh enam, kau masih bertanya-tanya arti dari hidup yang kau jaga mati-matian.

Tak ada harapan, pikirmu.

Detik jam dinding mencipta harmoni bersama detak jantung yang semakin tak menentu. Memecah sepi yang pekat. Menjelma teror yang membuatmu takut dari malam ke malam. Teror itu semakin nyata saat kau sadar bahwa waktu terus berjalan sementara yang kau temui hanyalah jalan buntu.

Saat sudah letih menyalahkan diri sendiri, kau mulai mencari pembenaran, mengkambinghitamkan siapapun atas apa yang telah terjadi. Dimulai dari pemerintah misalnya, yang kian hari kian bermain di atas nyawa yang semestinya dijaga. Atau yang lebih abnormal, menyalahkan satu-satunya sosok  yang paling bertanggungjawab atas kelahiranmu di dunia; ibumu sendiri.

Tapi tidak, lihatlah, kau terlalu pengecut bahkan sejak dalam kepala. Kau hanya terdiam memandangi jendela yang memisahkan isi pikiran dan realita, menelan semuanya sendiri bersama kopi pahit yang kau pikir bisa jadi pereda. Sebab hidup atau mati pun tak ada bedanya, pikirmu. Kau selamanya sendiri.

No comments:

Post a Comment