May 21, 2020

Pandemi dan cerita yang mengiringi

Dua puluh empat jam dalam sehari tak pernah terasa sepanjang dan semembosankan ini. Jalanan lengang ditinggal kemacetan. Toko-toko sepi kehilangan pendapatan. Berminggu-minggu, berbulan-bulan. Meski di luar langit terlihat cerah, banyak orang memilih tinggal dan merapal doa dalam rumah.

Dari linimasa kemudian aku tahu keadaan ini disebut sebagai normal yang baru. Ketidaknormalan yang dinormalisasikan, lebih tepatnya. Ketidaknormalan yang cukup menjadi nestapa. Entah untuk para pekerja, anak sekolah maupun muda-mudi yang gemar merajut rasa. Pertemuan-pertemuan yang sudah direncanakan dari jauh hari kini terpaksa ditunda seiring pandemi.

Keterbatasan pada akhirnya menciptakan ruang-ruang temu dalam jaringan. Meski teknologi membuatnya lebih mudah, ia tetap tak mampu menggantikan hangatnya pertemuan di kedai kopi saat satu-satunya gangguan hanyalah suara bising kendaraan di jalanan. Bukan jaringan yang providernya kerap kau maki tiap malam.

Siapa sangka ya pertemuan akan menjadi sesuatu yang langka dan sulit direalisasi?

Kelak, kalau semuanya usai dan segala sesuatunya kembali seperti sediakala, berjanjilah untuk menemui orang-orang yang kau sayangi secepatnya. Peluk mereka dengan lekat dan hangat. Sebab, apa yang lebih berharga dari kebersamaan tanpa sekat?

1 comment: