Akhirnya aku pulang
Senja merona dan burung-burung berlalulalang
Gerbong-gerbong melaju menyusur stasiun demi stasiun
Membelah gelap di antara pepohonan
Tak ada lampu kota Katamu, kepulanganku selalu ditunggu
Dialog terakhir baru saja diucapkan. Lampu menyala menghidupkan ruangan. Genggaman terlepas. Nafasku menghempas.
Mulut mungkin tak terbuka, tapi jelas kata-kata mengudara. Menyatu dalam hening. Terpancar dari mata yang bening. Penuh cemas. Tak sanggup membiarkan lepas.
Kali ini, biarkan aku berjalan sendiri di tempat yang terasa begitu asing, di antara daun yang berserakan, di antara ranting pohon yang patah, di antara angin yang merindukan kicau burung, musim gugur bulan Maret.
Ini bukan perihal disakiti dan menyakiti atau perihal mencintai dan patah hati, tapi perihal kenapa, kenapa harus terjadi.
Matahari tepat berada di atas kepala saat seorang gadis membuka pintu sembari membawa setumpuk pakaian basah dalam keranjang. Seperti yang ditebak, ia hendak menjemur pakaian.
Gadis itu memulai pekerjaanya dengan mengambil satu demi satu pakaian, menyampirkannya pada tiang-tiang besi. Tak butuh waktu lama untuk membuat pakaian itu berjajar, membentuk sebuah barisan, bak tentara yang baru kembali dari medan perang; mereka kusut, lepek, juga basah.